Kamis, 08 Januari 2009

Chapter 2. Me and my Childhood

Aku lahir dan dibesarkan dikota Muara Enim, Palembang Sumatra Selatan, Sebuah kota kecil yang menyimpan potensi alam dan budaya yang sangat besar. terkenal sebagai lumbung padi dan lumbung energi nasional membuat kampung halamanku begitu diperhitungkan di peta perekonomian tanah air. Maka tidak salah jika aku merasa begitu bangga telah dilahirkan ditanah yang begitu subur dan kaya.
Meski hampir kuhabiskan masa kecilku dikota itu, sempat pula kucicipi aroma ibukota sumsel, si cantik palembang pernah selama empat tahun menjadi persinggahan masa kecilku yang indah.
Ceritanya begini kawan, ayahku yang saat itu telah bekerja di KUA Gelumbang bermaksud melanjutkan studinya yang sempat tertunda diIAIN Raden Fatah palembang, maka jadilah aku dan segenap keluargaku yang terdiri dari ayahku, ibuku kakak lelakiku dan kakak perempuanku serta adikku yang pada saat itu sedang dalam kandungan ibuku boyongan kepalembang.
Berhubung nenekku mempunyai rumah di seputaran Lemabang, akhirnya kami sekeluarga menetap di Jl. Ramakasih 6 Lemabang Palembang.
Banyak kisah dan banyak cerita terukir dijalan ini, ada yang manis, asin, dan adapula yang menyakitkan... akan kumulai ceritaku kawan dengan bagian yang menyenangkan.
Adalah Candra Wijaya, pemuda kecil yang menjadi bagian tak terpisahkan dari mozaik kehidupanku di Palembang, ceritanya begini... Suatu hari aku dan saudara-saudaraku seperti biasa bermain diteras rumahku, hari itu entah darimana datangnya inspirasi itu, saudara perempuanku dan saudara perempuan Candra yang saat itu sebaya seperti halnya adik-adik mereka ini. berkonspirasi menggabungkan ide kreatif mereka untuk menggelar permainan yang disebut pengantin-pengantinan. maka kemudian terjadilah satu peristiwa yang melekatkan aku dan Candra sampai separuh hidup kami. Bagaimana bisa??? tentu saja bisa karena kamilah pasangan pengantin itu. kedua saudara kami merealisasikan permainan itu dengan memasangkan kami berdua untuk kemudian disuruh berdandan layaknya pengantin cilik. tidak cukup sampai disitu, kamipun dieksploitasi habis-habisan untuk mengikuti arahan mereka duduk ditangga teras, dan kawan-kawan yang lain pun disuruh menyalami kami layaknya tamu undangan disebuah pesta pernikahan.
Amboi... jika kuterkenang akan peristiwa itu timbul rasa lucu didalam dada tentang betapa polosnya kami berdua. belum lagi setelah peristiwa itu bahkan bertahun-tahun kemudian semua orang yang tinggal di Jalan itu mengenang kami sebagai pasangan pengantin cilik. lucu dan manis....lain halnya dengan kisah yang satu ini bagian ini kusebut bagian yang terasa menyakitkan... mengapa menyakitkan karena memang sakit... ceritanya begini. saat itu usiaku baru tiga tahun, usia balita yang memang sedang lincah-lincahnya. hal ini memang sering membuat ibuku khawatir apalagi mengingat kondisi dapur kami yang saat itu memang hanya terbuat dari papan-papan yang mulai lapuk. sampai pada suatu hari terjadilah peristiwa yang cukup seru tapi itu tadi menyakitkan bagiku.
hari itu seperti biasa ibuku sedang memasak untuk makan siang, sementara adik bungsuku yang baru berusia 1 tahun sedang tidur terlelap didalam kamar, kakak-kakakku pergi sekolah, dan ayahku pergi kekantor. sedangkan aku... bermain diruang tamu kemudian aku yang bosan dengan permainanku berlari-lari menuju dapur hendak menyusul ibuku yang sedang memasak, seperti yang telah kusinggung tadi kawan bahwa dapur rumah kami hanyalah terbuat dari papan yang lapuk, maka selang beberapa saat kemudian terjadilah peristiwa yang menyakitkan itu, akupun terjatuh diantara papan yang kebetulan berlubang, serta merta terdengarlah jeritan dari bibir mungilku, ibukupun segera menghampiriku, dan betapa kagetnya ibuku melihat keadaanku yang terperosok diantara kedua papan rusak dengan kondisi lutut terkoyak. dengan panik dan tanpa sempat berfikir apa-apa ibuku segera melarikanku kerumah sakit, ditengah perjalanan ibuku yang panik tiba-tiba teringat bahwa adikku masih tertinggal dirumah, terlelap di buaian, betapa cemasnya ibuku, namun untunglah saat itu mujur kakak tertuaku sedang berjalan pulang dari sekolah
" Indra!!" panggil ibuku, " Cepatlah Balik* Imam Umak tinggal dirumah, umak mau kerumah sakit rara jatuh didapur. Jaga rumah, jangan kemana-mana" pesan ibuku. sejenak ibuku merasa lebih tenang, diusapnya keningku yang terisak-isak menahan sakit.
belum habis masalah yang kutimbulkan, sesampainya dirumah sakit ibuku baru teringat bahwa uang yang tinggal didompetnya hanya sebesar dua ratus rupiah, pada zaman itu uang seratus rupiah hanya cukup untuk ongkos angkot dari rumah ke rumah sakit, praktis uang ibuku hanya cukup untuk ongkos pulang dan pergi saja. maka betapa resahnya ibuku ketika dokter memberitahu bahwa lututku harus dijahit apalagi ketika mendengar biaya penjahitannya menelan sekitar 5oo rupiah, nominal yang tidak kecil saat itu. namun tuhan selalu bersama orang-orang yang sabar, ibuku dipertemukan dengan seorang dokter yang baik hati yang bersedia memberikan pengobatan gratis (rahmatullah alaihim), Sehingga kemudian lututku yang sempat terkoyak bisa segera dijahit. peristiwa itu akhirnya meninggalkan kenang-kenangan berupa bekas putih di lututku... melihat bekas itu aku selalu terkenang akan kasih ibuku yang berjuang demi aku anaknya... satu mozaik lagi yang mengingatkan aku untuk semakin berbakti pada ibuku dan berusaha memberikan yang terbaik yang aku mampu untuk membahagiakannya.

Tidak ada komentar: